Ini sebuah tulisan tentang bagaimana ternyata sakit hati itu menguras banyak hal, tidak hanya pikiran dan raga tetapi juga materi. Pikiran tentang mengapa semuanya harus terjadi, tentang mengapa hal ini terjadi begitu saja, sampai tentang apa yang salah tentang diri ini hingga semuanya menjadi seperti ini. Raga yang ternyata menyimpan rasa trauma yang telah bertransformasi menjadi sebuah rasa mual tentang pikiran ini, ya, aku kehilangan sedikit berat badanku. Terakhir tentang materi, yang tentunya tidak bisa terabaikan karena semua ini juga tentang pencarian jati diri. Walau sebenarnya ini sangatlah dangkal dan rasa sakit ini tidak bisa ditukar begitu saja dengan kesenangan daging, tapi begitulah akhirnya sedikit banyak cara untuk melupakan sesak ini.
Aku masih punya pikiran yang jelas tentang hari itu, hari di mana, hampir seminggu kita berbincang-bincang dan semua terasa sangat organik. Tidak ada yang terasa ditutupi dan ada percikan-percikan rasa jatuh cinta, seperti anak muda, yang tertuang dalam setiap pesan yang tertukar. Hingga akhirnya kita putuskan untuk bertemu dalam kondisi yang menyulitkan. Tentunya masih ada perasaan asing saat perjumpaan di awal, hingga akhirnya perasaan asing itu mencair, dan semuanya tidak lagi terasa aneh. Perasaan yang ada hanyalah rasa hangat dan nyaman, setiap kali sentuhan itu terjadi, dan yang terasa adalah getaran-getaran yang menyengat tubuh. Ini bukanlah perasaan yang biasanya aku temukan, ini aneh, tapi sangatlah menagihkan. Aku sendiri bingung, karena aku baru saja menyelesaikan sebuah hubungan yang belum aku olah dengan baik. Tapi kamu begitu mudah meyakinkan aku, bahwa kamu adalah orang yang aku cari selama ini. Tak sedikit aku lontarkan bahwa aku ingin semuanya lebih santai tanpa ada espektasi apapun, dan kamu pun mengiyakan hal tersebut. Kita sendiri berusaha menahan diri, agar semuanya masih dapat menapak. Keputusanku untuk membuka hati pelan-pelan terjadi, ketika kamu terlihat sangat antusias dengan diriku dan hubungan ini. Setelah pertemuan yang pertama terjadi, ada pertemuan-pertemuan lainnya yang kita usahakan terjadi dengan terencana, karena jarak memang membatasi hal ini. Aku juga masih ingat bahwa kamu sendiri ragu menjalani hubungan ini, apabila harus terpaut oleh jarak. Tapi kita kesampingkan semua hal itu, karena kita hanya mengikuti insting.
Kita berusaha mencari waktu untuk mengurangi rasa rindu, dengan selalu mencari waktu di akhir minggu untuk bertemu. Tentunya hubungan ini tidak melulu soal cerita gembira. Ada hal yang pernah membuat kita beradu, tapi aku tahu sekali bahwa aku yang lebih sering merasa kesal, tapi kita selalu berusaha menjalin komunikasi, dan ternyata hubungan ini memang membuat kita saling tumbuh dan mengenal satu sama lain. Kamu yang selalu berusaha memberikan apa yang aku inginkan, walaupun kamu mungkin sadar atau tidak. Aku juga berusaha melakukan hal yang sama. Hingga suatu hari, aku merasakan kamu memberikan jarak kepadaku. Aku tidak ingat persis kapan, tapi aku bisa merasakan hal itu. Kamu mungkin tidak tahu, betapa aku takut sekali ketika itu terjadi.
Aku teringat dengan percakapan ringan kita suatu malam.
"Kalau kamu tidak merasa baik-baik saja, apa yang biasanya kamu lakukan?" tanyaku.
"Aku akan menutup diri dalam kegelapan dan kesendirian." jawabmu yang tidak ada ragu dan jeda sedikitpun, seolah ini memang makanan sehari-hari untukmu.
"Kalau aku berusaha untuk masuk bersama kegelapan itu, apakah kamu nyaman?"
"Belum pernah ada yang mencoba itu? Aku tidak tahu, tapi kita bisa mencobanya".
Aku hanya terdiam, dan menyisipkan percakapan ini ke dalam pikiranku, mencatatnya agar aku selalu ingat semua hal kecil tentang kamu.
Aku tahu dan sadar karena kamu terus memasang jarak dan berusaha mengesampingkan semua hal yang membutuhkan respon tentang perasaan. Aku sadar sekali bahwa suatu hari, ketika aku datang, kamu tidak lagi menjadi lebih ceria. Tidak lagi ada senyum kecil di wajah mu, yang selalu buat aku lega melihat hal itu. Kamu pernah bilang bahwa hubungan ini lama-lama akan seperti orang tua kita, tidak ada lagi gestur-gestur kecil dan itu semua hal yang wajar. Aku ingat sekali kata-kata itu, dan kamu tidak tahu betapa aku sedih mendengar hal itu. Kamu tidak tahu betapa menyedihkan mengetahui bahwa kamu melihat hubungan ini seperti hubungan orang tua mu. Tapi tentunya butuh waktu buat ku untuk mengolah semua rasa sedih ini. Aku juga ingat sekali suatu hari, di saat kita sedang berdua, kamu sebenarnya sedang berbincang asik dengan orang lain. Aku tahu tapi aku memilih untuk diam, karena aku percaya kamu, aku percaya kamu akan selalu berusaha terbuka tentang suatu yang lebih personal terutama soal hubungan ini. Aku selalu berusaha menepis semua hal ini, karena aku pikir yang kamu butuhkan sekarang bukanlah soal hal-hal bodoh itu, tapi dukungan bahwa kamu sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Kamu yang tidak pandai mengurai perasaanmu, membuat aku juga kebingungan menghadapi hal ini.
Hingga hari itu datang, aku yang selalu berani menginisiasi percakapan tentang hubungan ini, memberanikan diri sekali lagi untuk mengalahkan egoku sendiri. Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa sulitnya buat aku untuk menyusun setiap paragraf pesan, agar semuanya tidak terdengar terlalu meledak-ledak. Setiap kata yang aku pikirkan baik-baik, agar tidak melukai hatimu. Hari itu, aku tukar semua rasa marahku untuk bisa bertemu dengan kamu, karena setiap kali aku tahu kita akan menjadi dekat, hati ini selalu seperti anak kecil yang pernah aku kenal. Rasa gembira seperti berlari di taman bermain, atau rasa antusias tidak bisa tidur ketika orang tua ku bilang bahwa besok kita akan pergi piknik ke kolam renang. Aku selalu punya perasaan itu hingga terakhir kita bertemu, ya mungkin kamu juga tidak tahu, aku selalu senang berada di samping kamu. Walau cuman memandangi kamu yang begitu malu. Kita akhirnya bertemu, memulai dengan kegiatan kita seperti biasanya, hingga kamu pelan-pelan terlihat begitu cemas, karena kamu tahu percakapan tentang hubungan ini pasti akan terjadi. Aku yang awalnya pesimis, berubah menjadi optimis bahwa hubungan ini akan baik-baik saja, karena aku masih punya perasaan yang sama, tiap kali kita berjumpa. Tapi hati ini pelan-pelan luruh kita terlontar kata-kata bahwa hubungan ini ternyata membebani kamu, atau ketika kamu bilang setiap kali aku pulang, kamu membuang napas yang panjang, karena bisa kembali lega. Aku yang sampai saat menulis hal ini, masih tidak percaya dan sekujur tubuh ini masih lemas ketika membayangkan ucapan itu keluar dari mulutmu. Tapi, satu hal tentang ucapan itu, terima kasih karena kamu sudah mau jujur.
Ternyata aku butuh waktu itu mengolah dan memahami semua rasa sakit hati ini, dan yang baru muncul beberapa hari setelahnya. Aku pelan-pelan seperti balon udara, melayang tanpa ada jangkar, seperti orang bingung. Tapi aku berusaha menahan agar aku tidak melayang terlalu jauh, karena aku butuh untuk tetap hidup. Aku yang terus berusaha memahami apa yang terjadi tentang semua ini, memakan jiwa dan ragaku sendiri. Aku masih terus berusaha menghubungi kamu, karena semua kebiasaan kecil ini, yang mungkin tidak kamu ketahui, menjadi salah satu alasan aku selalu gembira menjalani hari. Sulit untuk mengubah hal itu. Aku terus pahami hubungan ini, dan kamu dari kejauhan, tentang apakah mungkin ini semua adalah salahku yang tidak pernah mendengarkan dirinya? Apakah aku ternyata diam-diam merenggut kebebasannya? Apakah aku terlalu posesif? Apakah aku tidak lagi menarik di matanya? sampai pikiran tentang apakah aku tidak pernah memberikan rurang sendiri untuk dia? Pikiran-pikiran ini terus menghantui aku, hingga detik ini, walau hingar bingarnya sudah terdengar lebih halus dan jauh. Aku selalu bilang, bahwa aku masih butuh kejelasan, karena aku ingin jadi orang yang lebih baik. Sampai suatu hari, aku yang sudah tidak kuat dengan ini, ditampar oleh sebuah ucapan, "Apakah kamu sadar, bahwa semua hal yang kamu ceritakan adalah soal orang lain? Apakah kamu tidak sayang dengan dirimu sendiri?". Ucapan ini tidak membuat aku terdiam, tapi menangis terisak-isak, rasanya seperti mengalirkan semua kepedihan ini lewat air mata. Aku sampai tidak ingat kapan aku menangis seperti itu, rasanya mirip seperti aku yang menangis saat aku masih kecil. Ucapan itu buat aku tersadar, bahwa ternyata aku lupa akan diriku sendiri. Ini seperti semua pesan yang aku sampaikan untuk orang-orang membantuku melewati hari-hari berat itu. Aku selalu ingatkan mereka untuk menyayangi diri mereka sendiri, tapi aku sendiri lupa akan hal itu.
Jika semua hal ini semua masih terasa seperti misteri, aku hanya bisa menunggu. Tapi aku yang lupa untuk menyayangi diriku sendiri, berusaha untuk kembali menjangkar balon udara itu. Akupun perlahan memahami perasan ini yang memang tidak bisa aku ubah, tapi bisa aku rasakan saja, bahwa ia tak perlu sama dengan apa yang aku pikirkan. Semua ini buat aku sadar akan suatu hal, yang sulit bukan memaafkan apa yang telah terjadi, tapi yang sulit itu untuk punya hati yang besar untuk menerima ini semua. Aku yang selalu belajar untuk ikhlas, ternyata belum cukup ikhlas. Bahwa hingga umurku hampir menginjak 30 tahun, aku masih diberikan pengingat untuk menjadi lebih kuat untuk jadi orang yang lebih ikhlas. Bahwa rasa ikhlas inipun yang akhirnya membuat aku kembali menginjakkan kaki ku di atas bumi. Bahwa rasa sepi yang aku takutkan, tidak semenakutkan itu. Bahwa semua yang aku rasakan, ternyata bisa buat aku jadi orang punya hati yang lebih besar. Aku akan terus olah rasa sakit ini, supaya ia buat aku jadi orang yang bertumbuh dalam keikhlasan. Aku akan anggap rasa sakit hati dan bingung ini menjadi pupuk, agar seluruh akar keikhlasannya menjadi lebih kuat. Bahwa aku yang hari ini masih merasa sedih dan bingung, tapi aku terus percaya bahwa aku masih akan terus diberikan kesempatan untuk jadi orang yang lebih baik. Terima kasih untuk pupuk itu.
Terima kasih untuk semua doa dan ucapan yang terus menyirami hati ini supaya aku terus menjadi orang yang ikhlas.