Saturday, December 30, 2023

Aku, Secangkir Kopi dan Dua Hari Menjelang Akhir Tahun

Siang yang terik di Kota Jakarta membuat ku tidak henti berpeluh dan serasa kepala ini seperti menguap, karena hawanya yang begitu panas. Tapi hari ini ada perasaan yang sedikit berbeda, selain aku yang terus merasa cemas soal tumpukkan pekerjaan aku, entah mengapa aku ingin membuat cuitan hati soal tutup tahun ini. Atau mungkin memang, ini hanyalah cara kerja tubuh atas responnya dari secangkir kopi pahit dan pekat? Atau mungkin rasa cemas ini memang datang dari alam bawah sadar ku tentang kehidupan yang begitu aneh, terutama untuk tahun 2023 ini.

Aku yang masih belum lepas seutuhnya dari rasa cemas ini, entah mengapa merasa lebih optimis menjelang akhirnya tahun 2023. Tidak seperti tahun-tahun biasanya, ada perasaan yang lebih dinantikan untuk segera menjalani tahun 2024. Memang tahun 2024, seperti tahun yang aku selalu nantikan, dan selalu aku ceritakan. Ceritanya yang tidak penting untuk saat ini, karena cuitan ini adalah soal pembelajaran tahun 2023. Seperti biasanya aku akan selalu lebih murung, cenderung lebih kontemplatif di akhir tahun. Aku selalu takut bahwa dalam hidup ini aku lupa untuk belajar menjadi lebih baik secara pribadi. Untuk saat ini, capaian-capaian duniawi baik soal karier, aku kesampingkan terlebih dahulu, sebab bukan itu tujuan ku beberapa tahun ke belakang ini. Aku cenderung terus membandingkan diriku dari tahun ini, atau mungkin detik ini, terhadap aku beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini selalu mengingatkan aku pada saat sesi terapi bersama psikolog, aku pernah menyampaikan perasaan takut bahwa aku tidak bisa belajar jadi manusia yang lebih baik lagi, atau mungkin akan tertahan dengan pribadi yang seperti ini saja. Atau mungkin curahan hati kepada seorang sahabat, yang aku panggil dia peri masa kecil ku, tentang perasaan aku takut menjadi orang jahat. Atau juga aku yang pernah tertidur sambil terus mengucap dan menitihkan air mata karena aku hanya ingin jadi orang baik. Lalu apa artinya baik itu? Ternyata hingga kini aku terus mencari jawabannya, dan ketika menulis inipun aku tersenyum. Ada perasaan teduh karena jawaban soal kebaikan itu tidak perlu selalu sama tiap kalimat atau hembusan atau aksinya. Dinamika itu lah yang buat aku diberikan kesempatan untuk jadi orang yang boleh belajar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Beberapa hari lalu, aku juga menyapa peri masa kecilku, karena aku selalu jadikan momen akhir tahun sebagai waktu untuk mengucap rasa terima kasih kepada mereka yang ada di dalam hidupku karena jodoh waktu, karma dan dharma yang harus aku lalui bersama mereka. Aku jadikan kesempatan ini untuk bertukar pesan dengan orang-orang tersebut, dan menanyakan kabar mereka. Oh ya, tukaran pesan dengan peri masa kecilku, begitu hangat, walau kami tidak secara intens berkomunikasi, tapi ia sampaikan aku lebih terang. Apapun itu, aku merasa memang tahun 2023 ini adalah tahun yang penuh dengan pembelajaran emosi. Aku diberikan kesempatan untuk merasakan sakit hati dan kesedihan soal orang lain, dan diriku sendiri. Di momen itulah aku merasa memiliki kesempatan untuk menyayangi diri ini lebih lagi, karena memang aku seringkali lupa akan hal itu. Ternyata aku pikir aku yang egois ini masih belum banyak sayang terhadap diri ini dan memberikan ruang sendiri. Aku ingat juga pesan periku, "kalau kamu sedih, duduk bengong, hadapi ia". Aku akan bawa kunci ketenangan emosi ini jadi tempat untuk aku mengolah semua rasa. Ia seperti secangkir kopi di pagi hari dan tatapan kosong ke langit biru yang dihiasi dengan awan putih. Kalau ada kesempatan itu, hari pasti selalu dimulai dengan ringan.

Selain soal emosi diri ini, tahun ini adalah soal kembali menghidupkan relasi, baik relasi baru atau lama yang sudah hilang. Aku benar-benar lupa soal relasi lama yang membuat aku selalu tenggelam dalam percakapan, walaupun hanya mendengarkan atau didengarkan. Aku juga lupa soal rasanya tidak paham pada sebuah kata, dan tanpa rasa malu aku akan bertanya apa makna soal kata itu, dan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku dan rasa ingin tahuku ternyata masih tetap sama dari aku berumur lima tahun. Aku juga benar-benar lupa bahwa aku yang cenderung tertutup masih kelilingi dengan relasi yang sama, tanpa ada rasa canggung untuk dihidupkan kembali. Buat hal ini, aku cuman bisa bersyukur kepada semesta, untuk kesempatan yang ia berikan kepada aku. Tentunya untuk relasi-relasi ini yang aku ikat lebih kuat lagi dengan pondasi kepercayaan, ataupun relasi-relasi lama yang aku hidupkan kembali. Terima kasih untuk seluruh orang-orang itu yang sudah hidup. Sedangkan, untuk relasi baru, aku benar-benar terkejut. Aku tidak menyangka bahwa semua relasi baru ini membuat aku sadar akan hidup yang lebih rumit lagi, terutama bagiku yang sudah rumit ini. Buat aku yang sulit memahami diri sendiri, ternyata masih banyak jiwa-jiwa baru di semesta ini yang perlu pelita. Apabila aku diberikan kesempatan untuk menyalakan pelita itu, aku sodorkan kepada mereka yang memang membutuhkan. Aku sudah janji tidak akan menyalakan terang untuk orang yang tidak ingin diterangi. Itu janjiku yang lain soal belajar mencintai diri sendiri. Bahwa soal batasan yang aku berikan ini, alih-alih bukan saja untuk melindungi diri ini, tapi juga orang lain. Terima kasih untuk semesta akan jiwa-jiwa baru yang dipertemukan dalam irisan kehidupan ku saat ini.

Tahun 2023 ini buatku pribadi adalah tahun yang aneh, sulit untuk diceritakan tapi buat aku satu hal yang penting, aku masih bisa bertahan dan memiliki asa. Itu sudah lebih dari cukup buat aku, meneduhkan dan tidak berlebihan. Rasa cukup, walau semua berada pada ambang batasnya, aku rasa itupun sudah cukup. Aku tahu bahwa aku akan kembali pulang jadi diriku, setiap kali aku jauh dari diri sendiri. Kalau kesempatan dalam hidup ini adalah terus berpetualang dan mengulang, selalu ada rasa ingin pulang ke goa pertapan. Aku yang sadar betul, hidup bersama leluhurku ini, selalu mendorong aku untuk pergi berpetualang. Terima kasih untuk jiwa-jiwa kebijaksanaan yang leluhurku berikan, sejak aku sadar bahwa aku ini adalah jiwa lama yang hidup pada badan baru.

Terima kasih 2023, aku tahu keberadaan mu mungkin bukan capaian besar dalam hidup ini, tapi kehadiranmu cukup untuk aku. Kamu seperti matahari sore yang membuat warna langit jadi berbeda, seperti setiap sore hari. Tidak perlu besar tapi cukup.


Saturday, May 13, 2023

Surat Sakit Hati dan Pembelajaran untuk Punya Hati yang Lebih Besar!

Ini sebuah tulisan tentang bagaimana ternyata sakit hati itu menguras banyak hal, tidak hanya pikiran dan raga tetapi juga materi. Pikiran tentang mengapa semuanya harus terjadi, tentang mengapa hal ini terjadi begitu saja, sampai tentang apa yang salah tentang diri ini hingga semuanya menjadi seperti ini. Raga yang ternyata menyimpan rasa trauma yang telah bertransformasi menjadi sebuah rasa mual tentang pikiran ini, ya, aku kehilangan sedikit berat badanku. Terakhir tentang materi, yang tentunya tidak bisa terabaikan karena semua ini juga tentang pencarian jati diri. Walau sebenarnya ini sangatlah dangkal dan rasa sakit ini tidak bisa ditukar begitu saja dengan kesenangan daging, tapi begitulah akhirnya sedikit banyak cara untuk melupakan sesak ini.

Aku masih punya pikiran yang jelas tentang hari itu, hari di mana, hampir seminggu kita berbincang-bincang dan semua terasa sangat organik. Tidak ada yang terasa ditutupi dan ada percikan-percikan rasa jatuh cinta, seperti anak muda, yang tertuang dalam setiap pesan yang tertukar. Hingga akhirnya kita putuskan untuk bertemu dalam kondisi yang menyulitkan. Tentunya masih ada perasaan asing saat perjumpaan di awal, hingga akhirnya perasaan asing itu mencair, dan semuanya tidak lagi terasa aneh. Perasaan yang ada hanyalah rasa hangat dan nyaman, setiap kali sentuhan itu terjadi, dan yang terasa adalah getaran-getaran yang menyengat tubuh. Ini bukanlah perasaan yang biasanya aku temukan, ini aneh, tapi sangatlah menagihkan. Aku sendiri bingung, karena aku baru saja menyelesaikan sebuah hubungan yang belum aku olah dengan baik. Tapi kamu begitu mudah meyakinkan aku, bahwa kamu adalah orang yang aku cari selama ini. Tak sedikit aku lontarkan bahwa aku ingin semuanya lebih santai tanpa ada espektasi apapun, dan kamu pun mengiyakan hal tersebut. Kita sendiri berusaha menahan diri, agar semuanya masih dapat menapak. Keputusanku untuk membuka hati pelan-pelan terjadi, ketika kamu terlihat sangat antusias dengan diriku dan hubungan ini. Setelah pertemuan yang pertama terjadi, ada pertemuan-pertemuan lainnya yang kita usahakan terjadi dengan terencana, karena jarak memang membatasi hal ini. Aku juga masih ingat bahwa kamu sendiri ragu menjalani hubungan ini, apabila harus terpaut oleh jarak. Tapi kita kesampingkan semua hal itu, karena kita hanya mengikuti insting.

Kita berusaha mencari waktu untuk mengurangi rasa rindu, dengan selalu mencari waktu di akhir minggu untuk bertemu. Tentunya hubungan ini tidak melulu soal cerita gembira. Ada hal yang pernah membuat kita beradu, tapi aku tahu sekali bahwa aku yang lebih sering merasa kesal, tapi kita selalu berusaha menjalin komunikasi, dan ternyata hubungan ini memang membuat kita saling tumbuh dan mengenal satu sama lain. Kamu yang selalu berusaha memberikan apa yang aku inginkan, walaupun kamu mungkin sadar atau tidak. Aku juga berusaha melakukan hal yang sama. Hingga suatu hari, aku merasakan kamu memberikan jarak kepadaku. Aku tidak ingat persis kapan, tapi aku bisa merasakan hal itu. Kamu mungkin tidak tahu, betapa aku takut sekali ketika itu terjadi. 

Aku teringat dengan percakapan ringan kita suatu malam.

"Kalau kamu tidak merasa baik-baik saja, apa yang biasanya kamu lakukan?" tanyaku. 

"Aku akan menutup diri dalam kegelapan dan kesendirian." jawabmu yang tidak ada ragu dan jeda sedikitpun, seolah ini memang makanan sehari-hari untukmu. 

"Kalau aku berusaha untuk masuk bersama kegelapan itu, apakah kamu nyaman?"

"Belum pernah ada yang mencoba itu? Aku tidak tahu, tapi kita bisa mencobanya".

Aku hanya terdiam, dan menyisipkan percakapan ini ke dalam pikiranku, mencatatnya agar aku selalu ingat semua hal kecil tentang kamu.

Aku tahu dan sadar karena kamu terus memasang jarak dan berusaha mengesampingkan semua hal yang membutuhkan respon tentang perasaan. Aku sadar sekali bahwa suatu hari, ketika aku datang, kamu tidak lagi menjadi lebih ceria. Tidak lagi ada senyum kecil di wajah mu, yang selalu buat aku lega melihat hal itu. Kamu pernah bilang bahwa hubungan ini lama-lama akan seperti orang tua kita, tidak ada lagi gestur-gestur kecil dan itu semua hal yang wajar. Aku ingat sekali kata-kata itu, dan kamu tidak tahu betapa aku sedih mendengar hal itu. Kamu tidak tahu betapa menyedihkan mengetahui bahwa kamu melihat hubungan ini seperti hubungan orang tua mu. Tapi tentunya butuh waktu buat ku untuk mengolah semua rasa sedih ini. Aku juga ingat sekali suatu hari, di saat kita sedang berdua, kamu sebenarnya sedang berbincang asik dengan orang lain. Aku tahu tapi aku memilih untuk diam, karena aku percaya kamu, aku percaya kamu akan selalu berusaha terbuka tentang suatu yang lebih personal terutama soal hubungan ini. Aku selalu berusaha menepis semua hal ini, karena aku pikir yang kamu butuhkan sekarang bukanlah soal hal-hal bodoh itu, tapi dukungan bahwa kamu sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Kamu yang tidak pandai mengurai perasaanmu, membuat aku juga kebingungan menghadapi hal ini.

Hingga hari itu datang, aku yang selalu berani menginisiasi percakapan tentang hubungan ini, memberanikan diri sekali lagi untuk mengalahkan egoku sendiri. Kamu mungkin tidak pernah tahu betapa sulitnya buat aku untuk menyusun setiap paragraf pesan, agar semuanya tidak terdengar terlalu meledak-ledak. Setiap kata yang aku pikirkan baik-baik, agar tidak melukai hatimu. Hari itu, aku tukar semua rasa marahku untuk bisa bertemu dengan kamu, karena setiap kali aku tahu kita akan menjadi dekat, hati ini selalu seperti anak kecil yang pernah aku kenal. Rasa gembira seperti berlari di taman bermain, atau rasa antusias tidak bisa tidur ketika orang tua ku bilang bahwa besok kita akan pergi piknik ke kolam renang. Aku selalu punya perasaan itu hingga terakhir kita bertemu, ya mungkin kamu juga tidak tahu, aku selalu senang berada di samping kamu. Walau cuman memandangi kamu yang begitu malu. Kita akhirnya bertemu, memulai dengan kegiatan kita seperti biasanya, hingga kamu pelan-pelan terlihat begitu cemas, karena kamu tahu percakapan tentang hubungan ini pasti akan terjadi. Aku yang awalnya pesimis, berubah menjadi optimis bahwa hubungan ini akan baik-baik saja, karena aku masih punya perasaan yang sama, tiap kali kita berjumpa. Tapi hati ini pelan-pelan luruh kita terlontar kata-kata bahwa hubungan ini ternyata membebani kamu, atau ketika kamu bilang setiap kali aku pulang, kamu membuang napas yang panjang, karena bisa kembali lega. Aku yang sampai saat menulis hal ini, masih tidak percaya dan sekujur tubuh ini masih lemas ketika membayangkan ucapan itu keluar dari mulutmu. Tapi, satu hal tentang ucapan itu, terima kasih karena kamu sudah mau jujur.

Ternyata aku butuh waktu itu mengolah dan memahami semua rasa sakit hati ini, dan yang baru muncul beberapa hari setelahnya. Aku pelan-pelan seperti balon udara, melayang tanpa ada jangkar, seperti orang bingung. Tapi aku berusaha menahan agar aku tidak melayang terlalu jauh, karena aku butuh untuk tetap hidup. Aku yang terus berusaha memahami apa yang terjadi tentang semua ini, memakan jiwa dan ragaku sendiri. Aku masih terus berusaha menghubungi kamu, karena semua kebiasaan kecil ini, yang mungkin tidak kamu ketahui, menjadi salah satu alasan aku selalu gembira menjalani hari. Sulit untuk mengubah hal itu. Aku terus pahami hubungan ini, dan kamu dari kejauhan, tentang apakah mungkin ini semua adalah salahku yang tidak pernah mendengarkan dirinya? Apakah aku ternyata diam-diam merenggut kebebasannya? Apakah aku terlalu posesif? Apakah aku tidak lagi menarik di matanya? sampai pikiran tentang apakah aku tidak pernah memberikan rurang sendiri untuk dia? Pikiran-pikiran ini terus menghantui aku, hingga detik ini, walau hingar bingarnya sudah terdengar lebih halus dan jauh. Aku selalu bilang, bahwa aku masih butuh kejelasan, karena aku ingin jadi orang yang lebih baik. Sampai suatu hari, aku yang sudah tidak kuat dengan ini, ditampar oleh sebuah ucapan, "Apakah kamu sadar, bahwa semua hal yang kamu ceritakan adalah soal orang lain? Apakah kamu tidak sayang dengan dirimu sendiri?". Ucapan ini tidak membuat aku terdiam, tapi menangis terisak-isak, rasanya seperti mengalirkan semua kepedihan ini lewat air mata. Aku sampai tidak ingat kapan aku menangis seperti itu, rasanya mirip seperti aku yang menangis saat aku masih kecil. Ucapan itu buat aku tersadar, bahwa ternyata aku lupa akan diriku sendiri. Ini seperti semua pesan yang aku sampaikan untuk orang-orang membantuku melewati hari-hari berat itu. Aku selalu ingatkan mereka untuk menyayangi diri mereka sendiri, tapi aku sendiri lupa akan hal itu.

Jika semua hal ini semua masih terasa seperti misteri, aku hanya bisa menunggu. Tapi aku yang lupa untuk menyayangi diriku sendiri, berusaha untuk kembali menjangkar balon udara itu. Akupun perlahan memahami perasan ini yang memang tidak bisa aku ubah, tapi bisa aku rasakan saja, bahwa ia tak perlu sama dengan apa yang aku pikirkan. Semua ini buat aku sadar akan suatu hal, yang sulit bukan memaafkan apa yang telah terjadi, tapi yang sulit itu untuk punya hati yang besar untuk menerima ini semua. Aku yang selalu belajar untuk ikhlas, ternyata belum cukup ikhlas. Bahwa hingga umurku hampir menginjak 30 tahun, aku masih diberikan pengingat untuk menjadi lebih kuat untuk jadi orang yang lebih ikhlas. Bahwa rasa ikhlas inipun yang akhirnya membuat aku kembali menginjakkan kaki ku di atas bumi. Bahwa rasa sepi yang aku takutkan, tidak semenakutkan itu. Bahwa semua yang aku rasakan, ternyata bisa buat aku jadi orang punya hati yang lebih besar. Aku akan terus olah rasa sakit ini, supaya ia buat aku jadi orang yang bertumbuh dalam keikhlasan. Aku akan anggap rasa sakit hati dan bingung ini menjadi pupuk, agar seluruh akar keikhlasannya menjadi lebih kuat. Bahwa aku yang hari ini masih merasa sedih dan bingung, tapi aku terus percaya bahwa aku masih akan terus diberikan kesempatan untuk jadi orang yang lebih baik. Terima kasih untuk pupuk itu.

Terima kasih untuk semua doa dan ucapan yang terus menyirami hati ini supaya aku terus menjadi orang yang ikhlas.

Friday, March 15, 2019

When I take my time

As my mind fills with many inspiration, the smells of banana cake from the oven, and the music of Homesick by Kings of Convenience. All of those simply remind me how am sometimes super introvert. Trying to avoid people, avoiding the need to talk even to smile. I just want to sit down on the balcony, slowly sipping a cup of black coffee, just thinking and thinking.

Drowning in my own thinking makes me realise a lot of things. Things that have passed and should be done. Checking all my old bucket list, and thicked it one by one. Drowning in my fantasy of living and remain at this moment to be always resilient. I am pretty sure I will miss this moment. The moment of silence! Just doing nothing, albeit, in reality, many to-do-lists are waiting to be done. Still dancing in my own imagination, care about no one or non-sense thing people say about you. Just being with yourself at its finest.

The Moment of Silence!


Those might be the condition that I always have pre- and post- moment of my depression phase. To be honest this year, my depression has been intensified. This year I got to know, that the more I am with myself, it is the moment that I am at my depression phase. I did not realise it until the moment I went to a psychologist. I tend to close my self to a crowd, even surrounded by 5 persons gets too overwhelming sometimes. I try to make the circle as small as possible, to make it comfortable for myself. Otherwise, I will just leave the crowd. It does not matter how close we are, once it gets too uncomfortable for myself, I do not care anymore. Think of how selfish I am like a normal human being. At this moment, people keep on asking me with a bunch of same questions just to make sure that I am okay. And I will just keep answering the same, "I am okay, thank you !". As this is the best way of avoiding any kind of contact with people, especially when it comes to expressing my feeling. I am just as bad as that.

But what I have learnt from going back and forth to the therapy session (I prefer to be called like that, because for some people going to a psychologist might seem too strong). My therapist did say something about giving a room to my feeling as a human. He suggested to me that I have to let my feeling also grow. He, indeed, told me that as a normal human being, your mind would not always align the same as your feeling. You should be able to give room for each of it. He also mentioned that your thoughts might be easily shared with people, but maybe your feeling is another story. You prefer to keep it for yourself. However, for some, they like to share it with others. He emphasised again, "It's normal!". I just need to take my time to get used to everything, as I also realise that most of the time. This situation just reminded me of my shared-thought about how you would fall in love deeply with people, which it developed so strong, and the next day you had a big fight, you say that you hate that person. For me, it is impossible. You could not just adjust your feeling, as you change your perspective towards something. It does take time.

At this point in my life, I sometimes could not believe how I was able to deceive my feeling with my strong thought about everything. I just nailed it easy-peasy for almost 4 years, and when all the problems got way over the top, I was shocked myself. But somehow I knew the way to get away of it, yet, indeed it did not solve the problem. Then until its snow-ball-effect hit me on the downside of the mountain. It seemed like all my burden trying to slap me right away to say, "There you are! Issues that you do not like to solve!". (I wrote this when I was in the Netherlands, and before I finished the whole therapy sessions) But one thing to remember that I still have this issue, that comes and goes whenever it wants. All I have to do is to try to cure every single wound and let the feeling grows, so the root is getting stronger and stronger until I have no fear anymore to face the same problem.

Saturday, March 3, 2018

Another phase of life

Rumanian - Indonesian, and nothing else. He is just too tall.
-Schiedam-

I can feel the warmth of Christmas around the corner
-Schiedam, December 2016-

I always miss the summer-sun, not the humidity. 
-Summer 2017, Sepa Island-

Just like an university leaflet.
-Spring 2017, Delft-

Thanks for always trying to understand my quirkiness.
-2016, Cengkareng-

We are the cutest Asian-wanna-be.
-Fall 2017, CITG, Delft-

Saturday, September 30, 2017

My Umbra Universe


Reflection

REMIND YOURSELF

It's funny how people drastically changed their behaviour to others. But does it the case for their feeling? Could they change their feeling drastically as well? It's funny and complicated at the same time. When suddenly you said to people that you hate them, you do not actually hate them, but you are overshadowed by jealousy, anger or disappointment. In my opinion is like saying you love someone on the first date, you do not actually love them, but you are learning to love them more. So does the case for hating someone.
It's just funny and complicated how human interacts each other and creates an emotional bond between them. And suddenly one said he/she does not have that feeling anymore.
Everything takes time for it, even for your feeling, your feeling to really love someone, to hate someone, and to heal. That's why when you love someone, try to also learn how to let them go. So it will not take so much time to adjust yourself when you lose them.

Contributors